BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Indonesia saat ini merupakan negara yang menganut demokrasi, meski
belum menjadi negara demokrasi seutuhnya tetapi tahapan demi tahapannya sudah
mulai dilaksanakan, salah satu diantaranya adalah desentralisasi dalam aspek
pemerintahan atau yang biasa disebut otonomi daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah tentunya dilaksanakan atas
berbagai pertimbangan yang diharapkan akan memberikan kebebasan terhadap
tiap-tiap daerah untuk melaksanakan semaksilam mungkin pengelolaan daerahnya
sehingga dapat meningkatkan kinerja pemerintahan, dan dapat mengeksplorasi
tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh daerah.
Pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945 yang merupakan dasar hukum pembentukan Pemeritahan Daerah,
menghendaki pembagian Wilayah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan
bentuk dan susunan ditetapkan dengan Undang-undang. Dan pembentukan daerah
besar dan kecil tersebut harus tetap memperhatikan hak-hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Prof. Soepomo menyatakan
bahwa Otonomi Daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional
menurut riwayat adat dan sifattersendiri, dalam kadar Negara kesatuan. Tiap
daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat
daerah lain. Karena itu, Pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang
bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model.
Lebih lanjut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, meletakan titik berat otonomi daerah pada Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota. Dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
urusan Pemerintah. Peletakan otonomi daerah pada Pemerintah Kabupaten dan Kota
bertujuan lebih mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat.
Disamping itu juga prinsip
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu
prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan
tugas, wewenang dan kewajiban senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,
hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sedangkan
otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya
harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian utama darai tujuan nasional.
Tujuan utama dari
kebijakan otonomi daerah (desentralisasi) adalah, disatu pihak membebaskan
pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan
domestik, sehingga ia berkesempatan untuk mempelajari, memahami, merespon
berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya pada saat yang
sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan
kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan
desentralisasi kewenangan ke daerah, maka daerah akan mengalami proses
pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas Kabupaten dan
Kota akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi
berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan simbol
“kepercayaan” dari pemerintah pusat, dalam sistem yang sentralistik mereka tidak biasa berbuat banyak dalam mengatasi
berbagai masalah, dalam sistem otonomi
mereka di tantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi atas berbagai
masalah yang dihadapi.
Dengan titik berat otonomi
pada Kabupaten dan Kota,maka Indonesia telah melakukan transformasi dalam
hubungan antara pemerintah pusat,provinsi dan kabupaten/kota yang menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 hanya merupakan kepanjangan tangan pusat di
daerah.Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah dibuka
saluran baru bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengambil
tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat
setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
1.2. Tujuan Penulisan
a.
Bagi Penulis
·
Manfaat mempelajari materi mengenai Pelaksanaan Otonomi
Daerah , adalah untuk menambah wawasan kita selaku warga negara mengenai
pelaksanaan pemerintahan di Indonesia.
- Sebagai bahan bacaan diwaktu senggang.
- Sebagai pemenuhan tugas dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
b. Bagi Pembaca
·
Sebagai bahan bacaan diwaktu
senggang.
·
Guna menambah wawasan mengenai apa
itu Otonomi Daerah.
1.3. Batasan Masalah
·
Pengertian Otonomi Daerah
dan Daerah Otonom.
·
Pengamalan Pancasila dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah.
·
Prinsip Pelaksanaan
Otonomi Daerah.
1.4. Metode Penulisan
Penyusunan
makalah ini saya dapat dari mengumpulkan bahan yang
berhubungan dengan Otonomi Daerah yang bersumber
dari buku dan internet.
1.5. Sistemattika Penulisan
Untuk
memudahkan dalam menganalisis makalah ini, pemakalah membagi menjadi tiga sub
bagian, yaitu :
BAB I Pendahuluan,
yaitu berisi latar belakang masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II Pembahasan,
yaitu berisi Pengertian Otonomi Daerah dan Daerah
Otonom, Pengamalan Pancasila dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, Prinsip
Pelaksanaan Otonomi Daerah.
BAB III Penutup,
yaitu berisi kesimpulan pemakalah mengenai Otonomi
Daerah, dan Daftar Pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Otonomi Daerah Dan Daerah Otonom
Pada
pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Otonomi Daerah adalah
: “Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”. Sedangkan yang
dimaksud dengan Daerah Otonom,
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara sederhana, jika mengacu pada pasal 1 UU No.32
Tahun 2004. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak,
wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan
hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan
dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan
bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali
sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
2.2. Pengamalan Pancasila Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berdasarkan pengalaman, terbukti bahwa pola sentralisasi
pemerintahan cenderung menimbulkan ekonomi biaya tinggi, akibat lambannya
birokrasi. Selain itu, pola sentralisasi tidak mendorong kreativitas dan motivasi untuk
membangun melalui pola pembangunan yang bersifat partisipatif. Lagi pula, kondisi geografis Indonesia dengan wilayah
yang menyebar terpencar membuat masalah pembangunan nasional demikian kompleks. Lebiha dari itu, pembangunan tidak hanya diorientasikan pada dimensi
optimalisasi dukungan dan pengembangan sumber daya di daerah, tetapi juga pada
dimensi persatuan dan kesatuan.
Kedua dimensi inilah yang menjadi dasar dari peletakan otonomi daerah pada
kabupaten dan kota, melalui penyerahan sebagian urusan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Di masa lalu, banyak masalah terjadi di daerah yang tidak tertangani secara
baik karena keterbatasan kewenangan pemerintah daerah di bidang itu. Ini berkenaan antara lain dengan konflik pertanahan,
kebakaran hutan, pengelolaan pertambangan, perijinan investasi, perusakan
lingkungan, alokasi anggaran dari dana subsidi pemerintah pusat, penetapan
prioritas pembangunan, penyusunan organisasi pemerintahan yang sesuai dengan
kebutuhan daerah, pengangkatan dalam jabatan struktural, perubahan batas
wilayah administrasi, pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa, serta
pemilihan kepala daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, kewenangan itu didesentralisasikan ke
daerah. Artinya pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus
rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat tidak lagi mempatronase, apa lagi
mendominasi mereka.Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini
adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.
Tadi telah disampaikan bahwa meskipun otonomi daerah telah dilaksanakan
lebih dari sepuluh tahun namun masih dijumpai kendala-kendala dalam
implementasinya. Pemecahan terhadap permasalahan implementasi otonomi daerah tadi, sudah
barang tentu harus di dasarkan pada norma dasar. Ideologi Pancasila ini, tentunya tidak bisa dipisahkan dari UUD 1945, NKRI dan Bhinika Tunggal Ika, karena keempat-empatnya adalah merupakan pilar-pilar kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Adapun langkah-langkah pemecahan permasalahan implementasi otonomi
tersebut, dapat dilakukan sebagai berikut:
2.2.1. Adanya anggapan bahwa UU No.
32 Tahun 2004, sebagai UU-nya Departemen Dalam Negeri ( Saat Ini KEMENDAGRI)
Sebagaimana diketahui, undang-undang dibuat dalam suatu Negara di berlakukan
secara universal, berlaku untuk semua warga Negara, bukan untuk golongan atau institusi tertentu. Karenanya adalah tidak benar adanya anggapan bahwa UU No
32 tahun 2004, adalah sebagai UU-nya Departemen Dalam Negeri (Saat ini KEMENDAGRI), tetapi merupakan UU-nya seluruh warga Negara dan lembaga yang ada di
Indonesia, sehingga ada kewajiban untuk melaksanakan dan mematuhinya.
Untuk itu sebenarnya ada pula kewajiban Departemen dan Lembaga Non Departemen
yang ada di tingkat pusat untuk ikut mensosialisasikan keberadaan UU No 32
tahun 2004 ini kepada jajarannya, sehingga otonomi daerah dapat berjalan
seperti yang diharapkan. Pada kenyataannya, adanya anggapan ini sangat mengganggu penyelenggaraan otonomi daerah, karena ada sebagian Departemen dan Lembaga Non Departemen yang belum
menyerahkan sebagian kewenangannya. Menyikapi hal ini, diperlukan adanya
ketegasan dari pemerintah pusat kepada Departemen dan Lembaga Non Departemen
yang belum menyerahkan kewenangan kepada daerah, bila perlu dengan pemberian
sanksi kepada Menteri atau Pimpinannya, sehingga dapat ditegakan Negara Keatuan Republik Indonesia.
2.2.2. Konflik antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
Permasalahan ini berpangkal pada penekanan UU No.22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan hirarkhis antara
Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini pada kenyataannya menimbulkan arogansi pemerintah
Kabupaten/Kota tidak taat asas dengan pemerintah provinsi, sebagai contoh undangan rapat oleh Gubernur jarang yang dihadiri oleh Bupati/Walikota secara
pribadi, Bupati /Walikota sering ke pemerintah pusat tanpa melapor kepada
Gurbernur. Bahkan ada seorang Bupati yang tidak mau diperiksa oleh Gubernur. Meskipun UU No.22 tahun 1999 telah diubah dengan UU No.32 tahun 2004, keadaan semacam ini masih terjadi, sehingga muncul pandangan
bahwa saat itu pemerintah provinsi di dzolimi oleh pemerintah kabupaten/kota. Kondisi ini terdukung oleh, tidak diaturnya sanksi yang
oleh UU No.32 tahun 2004 bagi
Bupati/Walikota yang kinerjanya tidak baik serta tidak taat asas terhadap
pemerintah provinsi.
Permasalahan ini telah diupayakan pemecahannya oleh pemerintah pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2010
tentang “Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah Di Wilayah Provinsi”,
Dalam pasal 3 PP No.19 tahun 2010 tersebut disebutkan bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah
memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan meliputi antara lain: koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara
pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal dan antar instansi vertikal, koordinasi penyelenggaraan pemerintah antara
pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kabupaten/kota, menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan kehidupan demokrasi,dan lain
sebagainya.
Pasal 4 PP No.19 tahun 2010 tersebut, menyebutkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki
wewenang: mengundang rapat Bupati/Walikota beserta perangkat daerah dan
pimpinan instansi vertikal, meminta kepada Bupati/Walikota beserta perangkat daearah dan pimpinan
instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak
yang memerlukan penyelesaian cepat, memberikan penghargaan atau sanksi kepada Bupati/Walikota terkait dengan
kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah janji, menetapkan sekretaris daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah – pajak daerah – retribusi daerah – dan tata ruang wilayah
kabupaten/kota, memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota
DPRD kabupaten/kota, dan lainnya.
Namun demikian, PP ini sampai sekarang belum ada peraturan pelaksanaannya, sehingga
pelaksanaannya belum efektif seperti yang diharapkan.
2.2.3. Munculnya Gejala Etno-Sentrisme atau Fenomena Kedaerahan
Fenomena etnosentrisme mulai berkembang, sejak awal tahun 2000 waktu
pemilihan Kepala Daerah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
mulai ditetapkan. Masyarakat daerah setempat ramai-ramai menuntut calon gubernur, bupati dan walikota beserta para wakilnya berasal dari
“PAD” (Putra Asli Daerah). Mereka menekan DPRD agar memenuhi aspirasi tersebut, sehingga ada DPRD yang
kebablasan mencantumkan persyaratan Putra asli Daerah dalam Tata Tertib
Pemilihan. Padahal dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 hanya diatur “sang calon mengenal daerahnya dan dikenal
masyarakat di daerahnya” (Pasal 33 huruf j).
Mulai tahun 2000 aroma etnosentrisme juga merebak ke arena Laporan
Pertanggung-jawaban (LPJ) Kepala Daerah. Kelompok etnik dibawa-bawa orang politik untuk mendukung atau menolak LPJ
yang menimbulkan efek buruk terhadap kualitas kehidupan bersama kelompok masyarakat, seperti tampak
jelas dari kasus penyerangan Forum Betawi Rempuk (FBR) yang pro Gubernur Sutiyoso terhadap kelompok Urban Poor Concortium (UPC) yang
anti Gubernur Sutiyoso di Ibukota Jakarta akhir Maret 2002.
Perkembangan penyakit etnosentrisme semakin meruak manakala otonomi daerah
dilaksanakan secara efektif terhitung 1 Januari 2001. Sebagian Pegawai Negeri Sipil (PNS) eks Kantor Wilayah (Kanwil) dan Kantor
Departemen (Kandep) yang dilikwidasi ditolak pengalihannya oleh Pemda,
gara-gara mereka bukan berasal dari etnik daerah yang bersangkutan. Atau kalau toh diterima, mereka menjadi PNS “kelas dua”. Misalnya, jika Dana Alokasi Umum (DAU) kurang, mereka lah yang pertama-tama diancam akan dikorbankan.Yang lebih parah
lagi, setelah Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah (Pemda)
ditetapkan, pejabat-pejabat yang dipromosikan menduduki struktur organisasi
Pemda tersebut lebih diutamakan Putra Asli Daerah, kendatipun kualifikasi mereka belum mencukupi. Mereka yang memiliki kompetensi tetapi bukan Putra Asli
Daerah tidak mendapat jabatan strategis atau bahkan di-non-job-kan. Begitu pula dalam penerimaan pegawai baru, orang-orang di
daerah tersebut menuntut calon PNS harus berasal dari etnik daerah itu.
Belakangan ini “wabah” etnosentrisme melanda pula wilayah lembaga legislatif daerah kita. Mulai terdengar suara agar DPRD dipimpin
dan diisi oleh anggota-anggota dari kalangan Putra Asli Daerah, mereka yang bukan PAD harus
disingkirkan. Walaupun suara itu belum cukup kencang, tetapi jika dicermati asal-usulnya terlihat dari rasa frustrasi masyarakat daerah
setempat yang calonnya dari kalangan PAD tidak gol menjadi Kepala Daerah (KD), karena lemahnya dukungan anggota dewan. Maka guna memenangi pemilihan KD, jumlah anggota DPRD
dari PAD harus dilipatgandakan.
Selain itu, juga muncul fenomena anggota DPRD dari PAD juga mencuat pada
waktu pengisian anggota dewan di daerah pemekaran. Sesuai Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom, anggota
DPRD Daerah Induk yang berasal dari daerah pemekaran harus “pulang kandang” ke DPRD daerah pemekaran tempat di mana yang bersangkutan dicalonkan dalam
Pemilihan Umum. Ada banyak kasus anggota dewan tersebut bukan PAD, mereka ini kemudian ditolak
pulang menjadi anggota dewan di daerah pemekaran oleh masyarakat setempat. Di beberapa tempat pemerintah terpaksa mengalah, supaya
DPRD segera terbentuk.
Sejak tahun 2000, daerah otonom mulai membuat kebijakan sesuai kewenangannya yang lumayan besar. Perda dapat
dibuat dan dilaksanakan, tanpa menunggu pengesahan Pemerintah Pusat. Keputusan KD bisa dijalankan tanpa menunggu Petunjuk
Pelaksanaan dari berbagai instansi pemerintah tingkat atas. Mereka lalu tancap
gas menjalankan fungsi pengaturan itu, tanpa bimbingan dan pengawasan pemerintahan yang memadai. Akibatnya, lahirlah
kebijakan aneh-aneh yang berbau etnis atau daerahisme seperti pengaturan tentang pendatang,
persyaratan PAD bagi calon KD, larangan perempuan keluar malam, pengambil
alihan BUMN, dan pembatalan kontrak investasi asing. Dengan otonomi seluas-luasnya, daerah provinsi seolah-olah telah merdeka
dari pusat atau bagi kabupaten/kota merdeka dari pengendalian provinsi, karena
itu mereka merasa bebas berbuat apa saja.
Untuk mencegah berkembangya bibit etnosentrisme lebih jauh, seyogyanya
dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1)
Perlu dilakukaan
pemantapan dan perluasan wawasan kebangsaan para tokoh masyarakat, tokoh agama,
para elit politik, serta tokoh organisasi masyarakat secara berkesinambungan.
2)
Pemerintah pusat perlu memperkuat
rambu-rambu yang jelas, rinci, dan lengkap dalam mengatur otonomi daerah.
3)
Pemerintah pusat harus
tegas dan tidak ragu-ragu dalam mengawasi pelaksanaan otonomi daerah.Setiap
pelanggaran harus dikoreksi, dan standar ganda tidak boleh terjadi.
4)
Peningkatan peran Gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat sesuai PP Nomor 19 Tahun 2010, perlu segera
dikeluarkan aturan pelaksanaannya.
5)
Sanksi bagi politisi yang
melakukan tindakan tidak terpuji seyogyanya diperberat, supaya yang lainnya
jera.
6)
Masyarakat setempat
beserta berbagai lembaga yang dimilikinya perlu dilibatkan dan diberdayakan. Kegiatan sosialisasi dan konsultasi dalam pembuatan
kebijakan daerah wajib mengajak mereka.
7)
Pendidikan anti kekerasan perlu dipromosikan kepada warga daerah kita,
disamping itu forum lintas budaya perlu
dihidupkan dalam komunitas lokal, di mana berbagai suku beretemu mendiskusikan
masalah daerah.
2.2.4. Munculnya Konflik Sosiologis
Berdasarkan pengamatan. Bila dianatomi, sumber konflik di Indonesia adalah:
- Dari dimensi budaya antara lain, masih berkembangnya
ideologi primordialisme (suku, agama, ras) masyarakat masih
melihat dengan kaca mata stereotype (menggeneralisasikan sifat-sifat suatu
suku, bangsa, agama dsb. Tanpa landasan yang rasional) stock of knowledge sebagian masyarakat kita sudah terlanjur terbentuk melalui sosialisasi di dalam keluarga, tempat ibadah,
sekolah dsb. Bila stock of knowledge ini
merugikan, perlu dilakukan gerakan “de-edukasi”
secara meluas dan medasar. Sistem kepercayaan (agama, kepercayaan) sering merupakan sumber konflik, tetapi sering pula merupakan basis moral “anti konflik
dan kekerasan”. Ideologi Negara sejak runtuhnya Orde Baru kita juga
melupakan ideologi Pancasila, padahal ideologi ini penting untuk menjadi landasan solidaritas bangsa.
- Dimensi sosial meliputi: sistem sosialisasi di berbagai pranata sosial
seperti rumah, sekolah, tempat ibadah, media massa, ormas & orsospol yang
masing-masing menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai “ non integrative”. Secara disadari maupun
tidak, kesenjangan sosial bukan saja antar individu, tetapi juga
golongan dan daerah. Hal ini menyulitkan terbentuknya solidaritas yang berskala nasional. Hukum yang tidak adil
cenderung menciptakan situasi anomic (tidak jelas mana yang benar mana yang
salah), matinya lembaga adat karena pemerintah terlalu
menyeragamkan kelembagaan pembangunan. Otonomi daerah tidak dengan mudah bisa memperbaiki situasi yang ada, pengangguran menciptakan sekelompok orang tidak memiliki
status jelas dan tanggung jawab. Kelompok ini bias menjadi “rumput kering” yang siap dibakar oleh siapa saja, lemahnya kontrol sosial baik pada masyarakat maupun
aparat, pembentukan sikap “fanatisme” terus berlangsung
di masyarakat, terdapatnya gejala
berkembangnya sifat agresifitas, frustasi dsb. Karena kondisi sosial ekonomi yang merosot, ketidakpercayaan meluas baik pada tingkat individual, posisional,
organisasional, institusional bahkan ontological.
- Dimensi Biologis meliputi: berkembangnya kondisi
biologis yang semakin tak tertahankan (rasa lapar, rasa sakit) di kalangan
kelompok-kelompok amat miskin, rangsangan obat bius yang secara biologis tak dapat tertahankan lagi oleh
orang-orang yang menjadi korban.
Untuk memecahkan masalah tersebut perlu diupayakan langkah-langkah sebagai berikut :
1)
Di setiap daerah perlu
dibentuk Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat, sehingga dapat dideteksi secara
dini permasalahan-permasalahan di daerah.
2)
Perlu dikembangkan agen
sosialisasi yang mampu menetralisasi pola sosialisasi yang bersifat separatis
(misalnya Gelanggang Remaja, Media massa, dan sebagainya).
3)
Setiap daerah
(Kabupaten/Kota) sebaiknya memiliki dokumen Rencana Umum Pembangunan Sosial
Budaya, agar permasalahan sosial budaya dapat lebih teridentifikasi dan tujuan
lebih terumuskan.
4)
Pemerintah pusat perlu
mengembangkan kelembagaan untuk pembangunan sosial-budaya yang mampu membuat “critical
analysis” yang bersifat holistic dan societal mengenai dampak berbagai
macam kebijakan departemen yang bersifat sektoral maupan kebijakan daerah
terhadap integrasi nasional.
5)
Para ahli Ilmu Politik
harus lebih memperhatikan analisis sosiologis dalam memikirkan pengembangan
politik nasional,jangan terlalu berorientasi pada tokoh atau golongan saja.
2.2.5. Kewenangan, Kelembagaan, Kepegawaian, dan Keuangan
Dari dimensi kewenangan sebenarnya masih terdapat permasalahan yang perlu
mendapat pemecahan. Apabila dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, pasal 10 (3)
disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah adalah
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Namun pada kenyataan masih ada departemen dan lembaga non
departemen yang masih belum mau menyerahkan urusannya ke daerah, sebagai misal
urusan pertanahan, urusan keluarga berencana dan lain sebagainya. Sudah barang
tentu permasalahan cukup mengganggu dalam penyelenggaraan otonomi daerah,
utamanya masalah pertanahan, karena kendala utama pembangunan di daerah adalah
tanah.
Permasalahan berikutnya adalah
masalah kelembagaan, yang muncul sebagai dampak belum diserahkannya beberapa
urusan ke daerah serta perbedaan persepsi mengenai urgensi urusan di daerah
tersebut yang membawa dampak terhadap penentuan esselonering suatu lembaga pada
tiap-tiap daerah.
Selanjutnya masalah keuangan, terutama terjadi karena euforia otonomi seluas-luasnya berdampak pada otoriterisme
Bupati/Walikota yang menenentukan penggunaan APBD semaunya sendiri, sehingga
ada yang terjadi lebih diutamakan pembelian kendaraan dinas atau pembangunan
kantor Pemda, bahkan membiayai sepak bola daripada untuk kepentingan rakyat
miskin.
Masalah berikutnya adalah masalah kepegawaian, yang antara daerah satu
dengan lainnya tidak sama tingkat kemampuan dan jumlahnya, disamping
permasalahan mutasi antar daerah, sehingga mempengaruhi kinerja Pemda setempat.
Permasalahan ini sudah mendapat perhatian secara khusus, dengan
mengupayakan langkah-langkah :
1)
Pemerintah pusat perlu menekankan kepada Departemen atau Lembaga Non Departemen yang belum menyerahkan urusannya ke daerah
segera menyerahkan urusan tersebut ke daerah, mengingat urusan tersebut bukan urusan pangkal
pemerintah pusat.
2)
Perlu ada bimbingan dan
pembinaan secara mantap dari pemerintah lebih atas kepada Pemda Kab/Kota dalam
pembentukan kelembagaan di daerah.
3)
Evaluasi rancangan Perda
APBD dari Pemerintah lebih atas kepada Pemda Kab/Kota harus secara ketat dan tegas, bila perlu diberi
sanksi, sehingga APBD benar-benar untuk rakyat.
4)
Untuk pemerataan sumber
daya manusia di Pemerintah Kabupaten/Kota, seyogyanya urusan kepegawaian
diserahkan kepada Gubernur.
2.2.6. Kewenangan DPRD Yang Jauh Dari Harapan
Ada sejumlah kasus yang
menunjukkan kepada kita bahwa sebagian anggota dewan kita jauh dari harapan,
diantaranya adalah:
Pertama,
belum mempunyai kemampuan (SDM) yang dapat diandalkan untuk mengemban tugas
perwakilan/kelegislatifan. Kalau seorang anggota dewan yang tidak punya kemampuan, bagaimana mungkin
dia biasa berargumentasi tentang suatu masalah untuk memperjuangkan
aspirasi masyarakat yang diwakilinya itu.
Kedua, anggota dewan saat ini
juga sangat akrab dengan berita money politics mulai dari proses pemilihan
kepala daerah, proyek-proyek, meloloskan Perda sampai minta kenaikan gaji. Ada sejumlah pengamat menilai bahwa DPRD tidak
memperjuangkan aspirasi rakyat. Dewan dinilai egois karena hanya memperjuangkan kepentingan parpol dan
kepentingan pribadi. Sementara itu ada sebagian anggota dewan yang disoroti telah memperkaya diri secara mencolok dan kurang masuk akal.
Ketiga, anggota dewan juga sering kali mengecewakan
masyarakat karena dinilai kurang biasa menyelesaikan konflik internal maupun
eksternal.
Keempat, masyarakat menilai anggota dewan kita malas, sebagai contoh pemberitaan banyak anggota dewan kita yang
absen. Hal ini menunjukan secara transparan
bahwa sebagai anggota dewan tidak serius karena banyak yang absen, kalau toh hadir banyak yang tidur selama rapat-rapat
berlangsung.
Disamping keempat permasalahan tersebut,
muncul permasalahan siapa yang mengontrol anggota dewan, karena sampai saat ini
belum ada lembaga yang dapat mengontrol perilaku dan kinerja anggota dewan,
sehingga akhir-akhir ini banyak kasus dilakukan anggota dewan.
Sudah barang tentu permasalahan ini harus dicarikan pemecahannya, antara
lain dengan upaya-upaya sebagai berikut:
1)
Kemampuan anggota dewan
perlu ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan baik yang dilakukan oleh partai
induknya maupun oleh pemerintah daerah seketika setelah dilantik.
2) Dewan yang hanya mementingkan dirinya sendiri perlu mendapat kontrol dan
kritikan masyarakat daerah
pemilihannya. Anggota dewan seperti ini jangan dipilih untuk periode berikutnya.
3) Dewan yang melakukan pelanggaran, termasuk yang tingkat absensi tinggi
perlu diberi sanksi yang berat, sehingga dapat membuat jera yang bersangkutan
dan yang lainya tidak meniru.
4) Kontrol dan pengawasan oleh masyarakat harus dilakukan secara ketat,
bekerja sama dengan penegak hukum.
2.2.7. Permasalahan, Otonomi Daerah Memindahkan Korupsi Dari Pusat Ke Daerah
Ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan
otonomi daerah ternyata cenderung memindahkan korupsi dari pusat ke daerah dan menciptakan raja-raja kecil didaerah. Ini dimungkinkan terjadi, karena kewenangan DPRD yang
besar itu tidak digunakan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan
diri sendiri.Praktek money politics bukan lagi rahasia, sehingga
pertanggungjawaban Kepala Daerah (KD) seringkali lolos mulus dihadapan DPRD. Perilaku “aji mumpung” di kalangan anggota DPRD
dilatar belakangi oleh rasa kurang percaya diri, sehingga merasa tidak
ada jaminan dirinya bakal terpilih kembali dalam pemilu berikutnya. Akibatnya fungsi kontrol tidak berjalan, bahkan mereka bermain sendiri, sehingga clean governance di daerah
sulit diwujudkan.
Kondisi demikian ini memunculkan peluang korupsi baik pada tataran eksekutif
maupun legislatif, terbukti akhir-akhir ini terjadi banyak
Bupati/Walikota dan aparatnya serta beberapa anggota dewan yang dimejahijaukan.
Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya pemecahanya, dengan langkah-langkah
antara lain:
1)
Penegakan hukum perlu
lebih ditingkatkan lagi, dengan meningkatkan kerja sama masyarakat, lembaga pengawas fungsional dan penegak hukum.
2)
Pengawasan melekat,
pengawasan fungsional dan pengawasan oleh masyarakat perlu lebih ditingkatkan,
dengan memperluas jaringan dan informasi.
3)
Perlu standar Pelayanan
Minimal dan standar pengukuran kinerja yang jelas baik
untuk eksekutif maupun untuk legislatif, sehingga capaian pelayanan dan kinerja
setiap setiap tahunnya dapat diukur dengan jelas.
2.2.8.
Permasalahan Kesulitan Pemerataan
Pemanfaatan Potensi
Sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa daerah di I ndonesia ini potensinya tidak sama antara
satu dengan lainnya, sehingga dengan pelaksanaan otonomi daerah mucul
permasalahan pemerataan pemanfaatan potensi. Sebagai contoh daerah-daerah di
Pulau Jawa sudah barang tentu potensinya tidak sama dengan daerah-daerah di
Pulau Irian, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan lainnya. Di Jawa saja potensinya berbeda antara kabupaten/kota
yang satu dengan lainnya. Kondisi ini tentunya memerlukan pemikiran pengaturan
secara sitematis dan terencana.
Sehubungan dengan itu kiranya langkah-langkah pemecahannya sebagai berikut:
1)
Pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya daerah perlu diarahkan untuk kepentingan rakyat,
sebagaimana ditekankan pasal 33 UUD 1945, dengan meperhatikan persatuan dan
kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2)
Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat dapat memfasilitasi kerjasama anatar daerah dalam provinsi
maupun antar darah di luar provinsi, serta menarik kerja sama dengan investor.
3)
Gubernur dapat membuat
suatu kawasan pembangunan atau pengembangan dengan melibatkan daerah-daerah
yang berbatasan.
2.3.
Prinsip Pelaksanaan
Otonomi Daerah
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan
dalam Undang-Undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut, dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata
dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk
menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan
kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan
jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional.
Seiring dengan prinsip itu,
penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang
tumbuh dalam masyarakat.
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan
dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang
berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan
dan pengawasan. Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan,
pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi.
Bersamaan dengan itu, Pemerintah
wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan,
dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan
secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan otonomi daerah itu
adalah bagaimana pemerintah daerah dapat mengelola daerahnya dengan baik dengan
tidak adanya kesenjangan antara masyarakat dengan pemerintah dengan swakarsa
sendiri guna mencapai tujuan yang tidak menyimpang dari peraturan
perundang-undangan.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Otonomi daerah telah berjalan sekitar
sesebelas tahun. Banyak hasil yang dicapai, tetapi juga banyak kendala-kendala yang harus
dipecahkan, mengingat adanya perbedaan kondisi daerah, suku, ras, agama dan lainnya.
Untuk itu perlu langkah-langkah pemecahan secara sistematis dengan
berlandaskan pada pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara
Indonesia, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui upaya-upaya itu harapan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dengan pelaksanaan otonomi daerah Insya Alllah akan dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Mallarangeng dkk. 2000. Otonomi Daerah Demokrasi Dan Civil Society. Forum Komunikasi Keluarga Mahasiswa Rokan Hulu: Yogyakarta.
Arli Fauzi. 2009. Renungan Tentang
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. PT Revka Petra Media: Sidoarjo.
Abdul Gafar Karim. 2006. Kompleksitas
Persolan Otonomi Daerah Di Indonesia. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Afan Gafar. 2006. Politik Indonesia Transisi
Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Nyoman Sumaryadi. 2005. Efektivitas Implementasi
Kebijakan Otonomi Daerah. Citra Utama: Jakarta.
Suko Wiyono. 2006. Otonomi Daerah Dalam
Negara Hukum Indonesia. Faza Media: Jakarta.
Silalahi TB. 2009. Otonomi Daerah Percontohan. Restu Agung: Jakarta.
Widjaja HA. 2009. Otonomi Daerah Dan Daerah Otonomi. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
http://hanniholilaharahap.blogspot.com/2009/07/Pelaksanaan Otonomi Daerah
Di Indonesia Saya unduh pada 23/12/2011.
Pukul 07:41.