Selasa, 03 Januari 2012

Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia saat ini merupakan negara yang menganut demokrasi, meski belum menjadi negara demokrasi seutuhnya tetapi tahapan demi tahapannya sudah mulai dilaksanakan, salah satu diantaranya adalah desentralisasi dalam aspek pemerintahan atau yang biasa disebut otonomi daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah tentunya dilaksanakan atas berbagai pertimbangan yang diharapkan akan memberikan kebebasan terhadap tiap-tiap daerah untuk melaksanakan semaksilam mungkin pengelolaan daerahnya sehingga dapat meningkatkan kinerja pemerintahan, dan dapat mengeksplorasi tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh daerah.
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dasar hukum pembentukan Pemeritahan Daerah, menghendaki pembagian Wilayah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan ditetapkan dengan Undang-undang. Dan pembentukan daerah besar dan kecil tersebut harus tetap memperhatikan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Prof. Soepomo menyatakan bahwa Otonomi Daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat adat dan sifattersendiri, dalam kadar Negara kesatuan. Tiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain. Karena itu, Pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model.
Lebih lanjut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, meletakan titik berat otonomi daerah pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah. Peletakan otonomi daerah pada Pemerintah Kabupaten dan Kota bertujuan lebih mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat.
Disamping itu juga prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama darai tujuan nasional.
Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah (desentralisasi) adalah, disatu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas Kabupaten dan Kota akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan simbol “kepercayaan” dari pemerintah pusat, dalam sistem yang sentralistik mereka tidak biasa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi mereka di tantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi.
Dengan titik berat otonomi pada Kabupaten dan Kota,maka Indonesia telah melakukan transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat,provinsi dan kabupaten/kota yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 hanya merupakan kepanjangan tangan pusat di daerah.Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah dibuka saluran baru bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.



1.2. Tujuan Penulisan
a.      Bagi Penulis
·         Manfaat mempelajari materi mengenai Pelaksanaan Otonomi Daerah , adalah untuk menambah wawasan kita selaku warga negara mengenai pelaksanaan pemerintahan di Indonesia.
  • Sebagai bahan bacaan diwaktu senggang.
  • Sebagai pemenuhan tugas dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
b.      Bagi Pembaca
·         Sebagai bahan bacaan diwaktu senggang.
·         Guna menambah wawasan mengenai apa itu Otonomi Daerah.

1.3. Batasan Masalah
·         Pengertian Otonomi Daerah dan Daerah Otonom.
·         Pengamalan Pancasila dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.
·         Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah.

1.4. Metode Penulisan
Penyusunan makalah ini saya dapat dari mengumpulkan bahan yang berhubungan dengan Otonomi Daerah yang bersumber dari buku dan internet.

1.5. Sistemattika Penulisan
Untuk memudahkan dalam menganalisis makalah ini, pemakalah membagi menjadi tiga sub bagian, yaitu :

BAB I Pendahuluan, yaitu berisi latar belakang masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II Pembahasan, yaitu berisi Pengertian Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Pengamalan Pancasila dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah.

BAB III Penutup, yaitu berisi kesimpulan pemakalah mengenai Otonomi Daerah, dan Daftar Pustaka.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.      Pengertian Otonomi Daerah Dan Daerah Otonom
            Pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah adalah : “Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara sederhana, jika mengacu pada pasal 1 UU No.32 Tahun 2004. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.



2.2.      Pengamalan Pancasila Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
               Berdasarkan pengalaman, terbukti bahwa pola sentralisasi pemerintahan cenderung menimbulkan ekonomi biaya tinggi, akibat lambannya birokrasi. Selain itu, pola sentralisasi tidak mendorong kreativitas dan motivasi untuk membangun melalui pola pembangunan yang bersifat partisipatif. Lagi pula, kondisi geografis Indonesia dengan wilayah yang menyebar terpencar membuat masalah pembangunan nasional demikian kompleks. Lebiha dari itu, pembangunan tidak hanya diorientasikan pada dimensi optimalisasi dukungan dan pengembangan sumber daya di daerah, tetapi juga pada dimensi persatuan dan kesatuan.
Kedua dimensi inilah yang menjadi dasar dari peletakan otonomi daerah pada kabupaten dan kota, melalui penyerahan sebagian urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Di masa lalu, banyak masalah terjadi di daerah yang tidak tertangani secara baik karena keterbatasan kewenangan pemerintah daerah di bidang itu. Ini berkenaan antara lain dengan konflik pertanahan, kebakaran hutan, pengelolaan pertambangan, perijinan investasi, perusakan lingkungan, alokasi anggaran dari dana subsidi pemerintah pusat, penetapan prioritas pembangunan, penyusunan organisasi pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, pengangkatan dalam jabatan struktural, perubahan batas wilayah administrasi, pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa, serta pemilihan kepala daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, kewenangan itu didesentralisasikan ke daerah. Artinya pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat tidak lagi mempatronase, apa lagi mendominasi mereka.Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.
Tadi telah disampaikan bahwa meskipun otonomi daerah telah dilaksanakan lebih dari sepuluh tahun namun masih dijumpai kendala-kendala dalam implementasinya. Pemecahan terhadap permasalahan implementasi otonomi daerah tadi, sudah barang tentu harus di dasarkan pada norma dasar. Ideologi Pancasila ini, tentunya tidak bisa dipisahkan dari UUD 1945, NKRI dan Bhinika Tunggal Ika, karena keempat-empatnya adalah merupakan pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adapun langkah-langkah pemecahan permasalahan implementasi otonomi tersebut, dapat dilakukan sebagai berikut:
2.2.1.   Adanya anggapan bahwa UU No. 32 Tahun 2004, sebagai UU-nya Departemen Dalam Negeri ( Saat Ini KEMENDAGRI)
          Sebagaimana diketahui, undang-undang dibuat dalam suatu Negara di berlakukan secara universal, berlaku untuk semua warga Negara, bukan untuk golongan atau institusi tertentu. Karenanya adalah tidak benar adanya anggapan bahwa UU No 32 tahun 2004, adalah sebagai UU-nya Departemen Dalam Negeri (Saat ini KEMENDAGRI), tetapi merupakan UU-nya seluruh warga Negara dan lembaga yang ada di Indonesia, sehingga ada kewajiban untuk melaksanakan dan mematuhinya.
          Untuk itu sebenarnya ada pula kewajiban Departemen dan Lembaga Non Departemen yang ada di tingkat pusat untuk ikut mensosialisasikan keberadaan UU No 32 tahun 2004 ini kepada jajarannya, sehingga otonomi daerah dapat berjalan seperti yang diharapkan. Pada kenyataannya, adanya anggapan ini sangat mengganggu penyelenggaraan otonomi daerah, karena ada sebagian Departemen dan Lembaga Non Departemen yang belum menyerahkan sebagian kewenangannya. Menyikapi hal ini, diperlukan adanya ketegasan dari pemerintah pusat kepada Departemen dan Lembaga Non Departemen yang belum menyerahkan kewenangan kepada daerah, bila perlu dengan pemberian sanksi kepada Menteri atau Pimpinannya, sehingga dapat ditegakan Negara Keatuan Republik Indonesia.
2.2.2  Konflik antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
           Permasalahan ini berpangkal pada penekanan UU No.22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan hirarkhis antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini pada kenyataannya menimbulkan arogansi pemerintah Kabupaten/Kota tidak taat asas dengan pemerintah provinsi, sebagai contoh undangan rapat oleh Gubernur jarang yang dihadiri oleh Bupati/Walikota secara pribadi, Bupati /Walikota sering ke pemerintah pusat tanpa melapor kepada Gurbernur. Bahkan ada seorang Bupati yang tidak mau diperiksa oleh Gubernur. Meskipun UU No.22 tahun 1999 telah diubah dengan UU No.32 tahun 2004, keadaan semacam ini masih terjadi, sehingga muncul pandangan bahwa saat itu pemerintah provinsi di dzolimi oleh pemerintah kabupaten/kota. Kondisi ini terdukung oleh, tidak diaturnya sanksi yang oleh UU No.32 tahun 2004 bagi Bupati/Walikota yang kinerjanya tidak baik serta tidak taat asas terhadap pemerintah provinsi.
           Permasalahan ini telah diupayakan pemecahannya oleh pemerintah pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2010 tentang “Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi”, 
Dalam pasal 3 PP No.19 tahun 2010 tersebut disebutkan bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan meliputi antara lain: koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal dan antar instansi vertikal, koordinasi penyelenggaraan pemerintah antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjaga dan mengamalkan ideologi Pancasila dan kehidupan demokrasi,dan lain sebagainya.
Pasal 4 PP No.19 tahun 2010 tersebut, menyebutkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki wewenang: mengundang rapat Bupati/Walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal, meminta kepada Bupati/Walikota beserta perangkat daearah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat, memberikan penghargaan atau sanksi kepada Bupati/Walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah janji, menetapkan sekretaris daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah – pajak daerah – retribusi daerah – dan tata ruang wilayah kabupaten/kota, memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota, dan lainnya.
Namun demikian, PP ini sampai sekarang belum ada peraturan pelaksanaannya, sehingga pelaksanaannya belum efektif seperti yang diharapkan.
2.2.3.   Munculnya Gejala Etno-Sentrisme atau Fenomena Kedaerahan
Fenomena etnosentrisme mulai berkembang, sejak awal tahun 2000 waktu pemilihan Kepala Daerah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mulai ditetapkan. Masyarakat daerah setempat ramai-ramai menuntut calon gubernur, bupati dan walikota beserta para wakilnya berasal dari “PAD” (Putra Asli Daerah). Mereka menekan DPRD agar memenuhi aspirasi tersebut, sehingga ada DPRD yang kebablasan mencantumkan persyaratan Putra asli Daerah dalam Tata Tertib Pemilihan. Padahal dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor  22 Tahun 1999 hanya diatur “sang calon mengenal daerahnya dan dikenal masyarakat di daerahnya” (Pasal 33 huruf j).
Mulai tahun 2000 aroma etnosentrisme juga merebak ke arena Laporan Pertanggung-jawaban (LPJ) Kepala Daerah. Kelompok etnik dibawa-bawa orang politik untuk mendukung atau menolak LPJ yang menimbulkan efek buruk terhadap kualitas kehidupan bersama kelompok masyarakat, seperti tampak jelas dari kasus penyerangan Forum Betawi Rempuk (FBR) yang pro Gubernur Sutiyoso terhadap kelompok Urban Poor Concortium (UPC) yang anti Gubernur Sutiyoso di Ibukota Jakarta akhir Maret 2002.
Perkembangan penyakit etnosentrisme semakin meruak manakala otonomi daerah dilaksanakan secara efektif terhitung 1 Januari 2001. Sebagian Pegawai Negeri Sipil (PNS) eks Kantor Wilayah (Kanwil) dan Kantor Departemen (Kandep) yang dilikwidasi ditolak pengalihannya oleh Pemda, gara-gara mereka bukan berasal dari etnik daerah yang bersangkutan. Atau kalau toh diterima, mereka menjadi PNS “kelas dua”. Misalnya, jika Dana Alokasi Umum (DAU) kurang, mereka lah yang pertama-tama diancam akan dikorbankan.Yang lebih parah lagi, setelah Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah (Pemda) ditetapkan, pejabat-pejabat yang dipromosikan menduduki struktur organisasi Pemda tersebut lebih diutamakan Putra Asli Daerah, kendatipun kualifikasi mereka belum mencukupi. Mereka yang memiliki kompetensi tetapi bukan Putra Asli Daerah tidak mendapat jabatan strategis atau bahkan di-non-job-kan. Begitu pula dalam penerimaan pegawai baru, orang-orang di daerah tersebut menuntut calon PNS harus berasal dari etnik daerah itu.
Belakangan ini “wabah” etnosentrisme melanda pula wilayah lembaga legislatif daerah kita. Mulai terdengar suara agar DPRD dipimpin dan diisi oleh anggota-anggota dari kalangan Putra Asli Daerah, mereka yang bukan PAD harus disingkirkan. Walaupun suara itu belum cukup kencang, tetapi jika dicermati asal-usulnya terlihat dari rasa frustrasi masyarakat daerah setempat yang calonnya dari kalangan PAD tidak gol menjadi Kepala Daerah (KD), karena lemahnya dukungan anggota dewan. Maka guna memenangi pemilihan KD, jumlah anggota DPRD dari PAD harus dilipatgandakan.
Selain itu, juga muncul fenomena anggota DPRD dari PAD juga mencuat pada waktu pengisian  anggota dewan di daerah pemekaran. Sesuai Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom, anggota DPRD Daerah Induk yang berasal dari daerah pemekaran harus “pulang kandang” ke DPRD daerah pemekaran tempat di mana yang bersangkutan dicalonkan dalam Pemilihan Umum. Ada banyak kasus anggota dewan tersebut bukan PAD, mereka ini kemudian ditolak pulang menjadi anggota dewan di daerah pemekaran oleh masyarakat setempat. Di beberapa tempat pemerintah terpaksa mengalah, supaya DPRD segera terbentuk.
Sejak tahun 2000, daerah otonom mulai membuat kebijakan sesuai kewenangannya yang lumayan besar. Perda dapat dibuat dan dilaksanakan, tanpa menunggu pengesahan Pemerintah Pusat. Keputusan KD bisa dijalankan tanpa menunggu Petunjuk Pelaksanaan dari berbagai instansi pemerintah tingkat atas. Mereka lalu tancap gas menjalankan fungsi pengaturan itu, tanpa bimbingan dan pengawasan pemerintahan yang memadai. Akibatnya, lahirlah kebijakan aneh-aneh yang berbau etnis atau daerahisme seperti pengaturan tentang pendatang, persyaratan PAD bagi calon KD, larangan perempuan keluar malam, pengambil alihan BUMN, dan pembatalan kontrak investasi asing. Dengan otonomi seluas-luasnya, daerah provinsi seolah-olah telah merdeka dari pusat atau bagi kabupaten/kota merdeka dari pengendalian provinsi, karena itu mereka merasa bebas berbuat apa saja.
Untuk mencegah berkembangya bibit etnosentrisme lebih jauh, seyogyanya dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1)        Perlu dilakukaan pemantapan dan perluasan wawasan kebangsaan para tokoh masyarakat, tokoh agama, para elit politik, serta tokoh organisasi masyarakat secara berkesinambungan.
2)        Pemerintah pusat perlu memperkuat rambu-rambu yang jelas, rinci, dan lengkap dalam mengatur otonomi daerah.
3)        Pemerintah pusat harus tegas dan tidak ragu-ragu dalam mengawasi pelaksanaan otonomi daerah.Setiap pelanggaran  harus dikoreksi, dan standar ganda tidak boleh terjadi.
4)        Peningkatan peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sesuai PP Nomor 19 Tahun 2010, perlu segera dikeluarkan aturan pelaksanaannya.
5)        Sanksi bagi politisi yang melakukan tindakan tidak terpuji seyogyanya diperberat, supaya yang lainnya jera.
6)        Masyarakat setempat beserta berbagai lembaga yang dimilikinya perlu dilibatkan dan diberdayakan. Kegiatan sosialisasi dan konsultasi dalam pembuatan kebijakan daerah wajib mengajak mereka.
7)        Pendidikan anti kekerasan perlu dipromosikan kepada warga daerah kita, disamping itu forum lintas budaya perlu dihidupkan dalam komunitas lokal, di mana berbagai suku beretemu mendiskusikan masalah daerah.
2.2.4.   Munculnya Konflik Sosiologis
Berdasarkan pengamatan. Bila dianatomi, sumber konflik di Indonesia adalah:
-     Dari dimensi budaya antara lain, masih berkembangnya ideologi primordialisme (suku, agama, ras) masyarakat masih melihat dengan kaca mata stereotype (menggeneralisasikan sifat-sifat suatu suku, bangsa, agama dsb. Tanpa landasan yang rasional) stock of  knowledge sebagian masyarakat kita sudah terlanjur terbentuk melalui sosialisasi di dalam keluarga, tempat ibadah, sekolah dsb. Bila stock of knowledge ini merugikan, perlu dilakukan gerakan “de-edukasi” secara meluas dan medasar. Sistem kepercayaan (agama, kepercayaan) sering merupakan sumber konflik, tetapi sering pula merupakan basis moral “anti konflik dan kekerasan”. Ideologi Negara sejak runtuhnya Orde Baru kita juga melupakan ideologi Pancasila, padahal ideologi ini penting untuk menjadi landasan solidaritas bangsa.
-     Dimensi sosial meliputi: sistem sosialisasi di berbagai pranata sosial seperti rumah, sekolah, tempat ibadah, media massa, ormas & orsospol yang masing-masing menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai “ non integrative”. Secara disadari maupun tidak, kesenjangan sosial bukan saja antar individu, tetapi juga golongan dan daerah. Hal ini menyulitkan terbentuknya solidaritas yang berskala nasional. Hukum yang tidak adil cenderung menciptakan situasi anomic (tidak jelas mana yang benar mana yang salah), matinya lembaga adat karena pemerintah terlalu menyeragamkan kelembagaan pembangunan. Otonomi daerah tidak dengan mudah bisa memperbaiki situasi yang ada, pengangguran menciptakan sekelompok orang tidak memiliki status jelas dan tanggung jawab. Kelompok ini bias menjadi “rumput kering” yang siap dibakar oleh siapa saja, lemahnya kontrol sosial baik pada masyarakat maupun aparat, pembentukan sikap “fanatisme” terus berlangsung di masyarakat, terdapatnya gejala berkembangnya sifat agresifitas, frustasi dsb. Karena kondisi sosial ekonomi yang merosot, ketidakpercayaan meluas baik pada tingkat individual, posisional, organisasional, institusional bahkan ontological.
-     Dimensi Biologis meliputi: berkembangnya kondisi biologis yang semakin tak tertahankan (rasa lapar, rasa sakit) di kalangan kelompok-kelompok amat miskin, rangsangan obat bius yang secara biologis tak dapat tertahankan lagi oleh orang-orang yang menjadi korban.
          Untuk memecahkan masalah tersebut perlu diupayakan langkah-langkah sebagai berikut :
1)        Di setiap daerah perlu dibentuk Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat, sehingga dapat dideteksi secara dini permasalahan-permasalahan di daerah.
2)        Perlu dikembangkan agen sosialisasi yang mampu menetralisasi pola sosialisasi yang bersifat separatis (misalnya Gelanggang Remaja, Media massa, dan sebagainya).
3)        Setiap daerah (Kabupaten/Kota) sebaiknya memiliki dokumen Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya, agar permasalahan sosial budaya dapat lebih teridentifikasi dan tujuan lebih terumuskan.
4)        Pemerintah pusat perlu mengembangkan kelembagaan untuk pembangunan sosial-budaya yang mampu membuat “critical analysis” yang bersifat holistic dan societal mengenai dampak berbagai macam kebijakan departemen yang bersifat sektoral maupan kebijakan daerah terhadap integrasi nasional.
5)        Para ahli Ilmu Politik harus lebih memperhatikan analisis sosiologis dalam memikirkan pengembangan politik nasional,jangan terlalu berorientasi pada tokoh atau golongan saja.
2.2.5.   Kewenangan, Kelembagaan, Kepegawaian, dan Keuangan
Dari dimensi kewenangan sebenarnya masih terdapat permasalahan yang perlu mendapat pemecahan. Apabila dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, pasal 10 (3) disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Namun pada kenyataan masih ada departemen dan lembaga non departemen yang masih belum mau menyerahkan urusannya ke daerah, sebagai misal urusan pertanahan, urusan keluarga berencana dan lain sebagainya. Sudah barang tentu permasalahan cukup mengganggu dalam penyelenggaraan otonomi daerah, utamanya masalah pertanahan, karena kendala utama pembangunan di daerah adalah tanah.
 Permasalahan berikutnya adalah masalah kelembagaan, yang muncul sebagai dampak belum diserahkannya beberapa urusan ke daerah serta perbedaan persepsi mengenai urgensi urusan di daerah tersebut yang membawa dampak terhadap penentuan esselonering suatu lembaga pada tiap-tiap daerah.
            Selanjutnya masalah keuangan, terutama terjadi karena euforia otonomi seluas-luasnya berdampak pada otoriterisme Bupati/Walikota yang menenentukan penggunaan APBD semaunya sendiri, sehingga ada yang terjadi lebih diutamakan pembelian kendaraan dinas atau pembangunan kantor Pemda, bahkan membiayai sepak bola daripada untuk kepentingan rakyat miskin.
            Masalah berikutnya adalah masalah kepegawaian, yang antara daerah satu dengan lainnya tidak sama tingkat kemampuan dan jumlahnya, disamping permasalahan mutasi antar daerah, sehingga mempengaruhi kinerja Pemda setempat.
            Permasalahan ini sudah mendapat perhatian secara khusus, dengan mengupayakan langkah-langkah :
1)        Pemerintah pusat perlu menekankan kepada Departemen atau Lembaga Non Departemen yang belum menyerahkan urusannya ke daerah segera menyerahkan urusan tersebut ke daerah, mengingat urusan tersebut bukan urusan pangkal pemerintah pusat.
2)        Perlu ada bimbingan dan pembinaan secara mantap dari pemerintah lebih atas kepada Pemda Kab/Kota dalam pembentukan kelembagaan di daerah.
3)        Evaluasi rancangan Perda APBD dari Pemerintah lebih atas kepada Pemda Kab/Kota harus secara ketat dan tegas, bila perlu diberi sanksi, sehingga APBD benar-benar untuk rakyat.
4)        Untuk  pemerataan sumber daya manusia di Pemerintah Kabupaten/Kota, seyogyanya urusan kepegawaian diserahkan kepada Gubernur.   
   
2.2.6.   Kewenangan DPRD Yang Jauh Dari Harapan
            Ada sejumlah kasus yang menunjukkan kepada kita bahwa sebagian anggota dewan kita jauh dari harapan, diantaranya adalah:
               Pertama, belum mempunyai kemampuan (SDM) yang dapat diandalkan untuk mengemban tugas perwakilan/kelegislatifan. Kalau seorang anggota dewan yang tidak punya kemampuan, bagaimana mungkin dia biasa berargumentasi tentang  suatu masalah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya itu.
              Kedua, anggota dewan saat ini juga sangat akrab dengan berita money politics mulai dari proses pemilihan kepala daerah, proyek-proyek, meloloskan Perda sampai minta kenaikan gaji. Ada sejumlah pengamat menilai bahwa DPRD tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. Dewan dinilai egois karena hanya memperjuangkan kepentingan parpol dan kepentingan pribadi. Sementara itu ada sebagian anggota dewan yang disoroti telah memperkaya diri secara  mencolok dan kurang masuk akal.
            Ketiga, anggota dewan juga sering kali mengecewakan masyarakat karena dinilai kurang biasa menyelesaikan konflik internal maupun eksternal.
            Keempat, masyarakat menilai anggota dewan kita malas, sebagai contoh pemberitaan banyak anggota dewan kita yang absen. Hal ini menunjukan secara transparan bahwa sebagai anggota dewan tidak serius karena banyak yang absen, kalau toh hadir banyak yang tidur selama rapat-rapat berlangsung.
            Disamping keempat permasalahan tersebut, muncul permasalahan siapa yang mengontrol anggota dewan, karena sampai saat ini belum ada lembaga yang dapat mengontrol perilaku dan kinerja anggota dewan, sehingga akhir-akhir ini banyak kasus dilakukan anggota dewan.
            Sudah barang tentu permasalahan ini harus dicarikan pemecahannya, antara lain dengan upaya-upaya sebagai berikut:
1)      Kemampuan anggota dewan perlu ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan baik yang dilakukan oleh partai induknya maupun oleh pemerintah daerah seketika setelah dilantik.
2)      Dewan yang hanya mementingkan dirinya sendiri perlu mendapat kontrol dan kritikan masyarakat daerah pemilihannya. Anggota dewan seperti ini jangan dipilih untuk periode berikutnya.
3)      Dewan yang melakukan pelanggaran, termasuk yang tingkat absensi tinggi perlu diberi sanksi yang berat, sehingga dapat membuat jera yang bersangkutan dan yang lainya tidak meniru.
4)      Kontrol dan pengawasan oleh masyarakat harus dilakukan secara ketat, bekerja sama dengan penegak hukum.
2.2.7.   Permasalahan, Otonomi Daerah Memindahkan Korupsi Dari Pusat Ke Daerah
            Ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan otonomi daerah ternyata cenderung memindahkan korupsi dari pusat ke daerah dan menciptakan raja-raja kecil didaerah. Ini dimungkinkan terjadi, karena kewenangan DPRD yang besar itu tidak digunakan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan diri sendiri.Praktek money politics bukan lagi rahasia, sehingga pertanggungjawaban Kepala Daerah (KD) seringkali lolos mulus dihadapan  DPRD. Perilaku  “aji mumpung” di kalangan anggota DPRD dilatar belakangi  oleh rasa kurang percaya diri, sehingga merasa tidak ada jaminan dirinya bakal terpilih kembali dalam pemilu berikutnya. Akibatnya fungsi kontrol tidak berjalan, bahkan mereka bermain sendiri, sehingga clean governance di daerah sulit diwujudkan.
            Kondisi demikian ini memunculkan peluang korupsi baik pada tataran eksekutif maupun legislatif, terbukti akhir-akhir ini terjadi banyak Bupati/Walikota dan aparatnya serta beberapa anggota dewan yang dimejahijaukan.
             Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya pemecahanya, dengan langkah-langkah antara lain:
1)      Penegakan hukum perlu lebih ditingkatkan lagi, dengan meningkatkan  kerja sama  masyarakat, lembaga pengawas fungsional dan penegak hukum.
2)      Pengawasan melekat, pengawasan fungsional dan pengawasan oleh masyarakat perlu lebih ditingkatkan, dengan memperluas jaringan dan informasi.
3)      Perlu standar Pelayanan Minimal dan standar  pengukuran kinerja yang jelas baik untuk eksekutif maupun untuk legislatif, sehingga capaian pelayanan dan kinerja setiap setiap tahunnya dapat diukur dengan jelas.
2.2.8.      Permasalahan Kesulitan Pemerataan Pemanfaatan Potensi
            Sebagaimana  kita ketahui bersama bahwa daerah di I ndonesia ini potensinya tidak sama antara satu dengan lainnya, sehingga dengan pelaksanaan otonomi daerah mucul permasalahan pemerataan pemanfaatan potensi. Sebagai contoh daerah-daerah di Pulau Jawa sudah barang tentu potensinya tidak sama dengan daerah-daerah di Pulau Irian, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan lainnya. Di Jawa saja potensinya berbeda antara kabupaten/kota yang satu dengan lainnya. Kondisi ini tentunya memerlukan pemikiran pengaturan secara sitematis dan terencana.
            Sehubungan dengan itu kiranya langkah-langkah pemecahannya sebagai berikut:
1)      Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya daerah perlu diarahkan untuk kepentingan rakyat, sebagaimana ditekankan pasal 33 UUD 1945, dengan meperhatikan persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2)      Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat memfasilitasi kerjasama anatar daerah dalam provinsi maupun antar darah di luar provinsi, serta menarik kerja sama dengan investor.
3)      Gubernur dapat membuat suatu kawasan pembangunan atau pengembangan dengan melibatkan daerah-daerah yang berbatasan.

2.3.      Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut, dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
            Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan otonomi daerah itu adalah bagaimana pemerintah daerah dapat mengelola daerahnya dengan baik dengan tidak adanya kesenjangan antara masyarakat dengan pemerintah dengan swakarsa sendiri guna mencapai tujuan yang tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan.


BAB III
PENUTUP

1.        Kesimpulan
Otonomi daerah telah berjalan sekitar sesebelas tahun. Banyak hasil yang dicapai, tetapi juga banyak kendala-kendala yang harus dipecahkan, mengingat adanya perbedaan kondisi daerah, suku, ras, agama dan lainnya.
            Untuk itu perlu langkah-langkah pemecahan secara sistematis dengan  berlandaskan pada pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Indonesia, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui upaya-upaya itu harapan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan pelaksanaan otonomi daerah Insya Alllah akan dapat terwujud.



DAFTAR PUSTAKA

Andi Mallarangeng dkk. 2000. Otonomi Daerah Demokrasi Dan Civil Society. Forum Komunikasi Keluarga Mahasiswa Rokan Hulu: Yogyakarta.
Arli Fauzi. 2009. Renungan Tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah. PT Revka Petra Media: Sidoarjo.
Abdul Gafar Karim. 2006. Kompleksitas  Persolan Otonomi Daerah Di Indonesia. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Afan Gafar. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Nyoman Sumaryadi. 2005. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Citra Utama: Jakarta.
Suko Wiyono. 2006. Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum Indonesia. Faza Media: Jakarta.
Silalahi TB. 2009. Otonomi Daerah Percontohan. Restu Agung: Jakarta.
Widjaja HA. 2009. Otonomi Daerah Dan Daerah Otonomi. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi Daerah Saya unduh pada 22/12/2011. Pukul 20:42.
http://hanniholilaharahap.blogspot.com/2009/07/Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia Saya unduh pada 23/12/2011. Pukul 07:41.